Pentingnya Anak Muda Paham Isu Minoritas, AJI Yogyakarta Advokasi Penghayat Kepercayaan di FISIP UAJY
Persoalan kelompok minoritas masih perlu diadvokasikan agar dapat menjadi pengetahuan masyarakat luas. Hal ini dapat dimulai dari membangkitkan semangat anak muda untuk paham isu minoritas seperti penghayat kepercayaan.
Advokasi terhadap penghayat kepercayaan perlu dilakukan melihat pemenuhan hak kepada mereka masih kurang. Hal ini menjadi materi pemaparan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam diskusi bedah buku “Suara-Suara Sunyi” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FISIP UAJY), Selasa (19/11).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan lima ruang lingkup kelompok minoritas di Indonesia yaitu ras, etnis, agama, penyandang disabilitas, serta identitas gender dan orientasi seksual. Dalam ruang lingkup agama, kelompok penghayat kepercayaan menjadi kelompok minoritas di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada tahun 2022 tercatat 117.412 penduduk Indonesia menganut aliran kepercayaan. Jumlah tersebut setara dengan 0,04% dari populasi masyarakat Indonesia.
Secara pendidikan agama di sekolah, para murid penghayat kepercayaan kesulitan untuk memperoleh pelajaran akan kepercayaannya. Tri Noviana, pegiat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) turut memaparkan advokasi yang pernah dilakukan di salah satu sekolah di Kulonprogo. Terdapat dua siswa penghayat kepercayaan yang kesulitan memperoleh hak pendidikan agamanya karena tidak ada guru yang berkualifikasi.
Persoalan atas hak pendidikan untuk penghayat kepercayaan untungnya sudah mulai terjawab dengan hadirnya Program Studi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang. Berkat ini, para pengajar penghayat kepercayaan nantinya dapat memperoleh guru selayaknya tenaga pendidik lainnya.
“Saat ini sudah memasuki angkatan ketiga, jadi tahun depan sudah ada yang lulus S1 dari Untag Semarang” jelasnya.
Selain di bidang pendidikan, pemenuhan hak bagi penghayat kepercayaan masih menjadi persoalan di bidang administrasi kependudukan. Saat ini memang Putusan MK Nomor 97 akan pencantuman penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa telah diberlakukan bagi masyarakat penghayat kepercayaan. Namun, tak jarang proses administrasi untuk hal tersebut masih dipersulit secara prakteknya.
“Ketika teman-teman penghayat ingin mengganti di Dukcapil, ngomong bahwa Blankonya habis” tutur Novi.
Pemilu dan Pilkada yang diadakan pada tahun 2024 ini juga tentu memberikan dampak kepada para penghayat kepercayaan. Novi menjelaskan bahwa para penghayat memiliki harapan untuk kementrian agama dan penghayat atau dinas untuk penghayat dapat dibentuk oleh para calon pejabat negara. Permintaan tersebut sebagai bentuk harapan pemenuhan hak bagi para penghayat kepercayaan di Indonesia semakin dipermudah.
Bambang Muryanto, jurnalis sekaligus salah satu penulis buku “Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas dalam Pusaran Politik di Indonesia” turut memberikan pemaparan mengenai kurangnya pejabat yang merangkul kelompok minoritas. Sehingga Bambang melihat kelompok minoritas dari pemilu ke pemilu tidak pernah mengalami perubahan nasib.
“Mereka tidak berani mengangkat persoalan minoritas karena akan menjadi boomerang untuk popularitas mereka” jelas Bambang.
Bambang berpesan, bahwa persoalan atas kelompok minoritas seperti penghayat kepercayaan merupakan tugas dan kewajiban jurnalis untuk terus mengadvokasikannya. Walaupun sudah ada lembaga yang menaungi, tetapi tetap menjadi tugas jurnalis untuk berpihak pada kelompok minoritas agar suara mereka dapat terdengar oleh masyarakat luas.
“Jurnalisme harus mengangkat persoalan minoritas ini karena kalau tidak siapa lagi?” tuturnya.