Mengenal Kewang : Polisi Adat di Maluku yang Menjaga Hasil Alam Lingkungan Adat
Kewang adalah adat yang masih dipertahankan secara turun temurun
Maluku dikenal sebagai negeri para raja dari zaman dulu. Hal ini ditandai dengan banyaknya kerajaan Islam seperti Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, kesultanan Huamual, dan masih banyak lainnya. Selain itu, pembagian administratif di Maluku sendiri bernama negeri yang di pimpin oleh kepala pemerintah yang disebut raja. Dalam menjalankan tugasnya, seorang raja dibantu oleh kewang dalam mengelolah hasil alam.
Kewang adalah adat yang masih dipertahankan secara turun temurun di beberapa negeri seperti Negeri Tial, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Kewang bisa dikatakan identik dengan polisi adat yang dipercayakan untuk menegakkan aturan adat, menjaga kebersihan lingkungan, keamanan masyarakat serta menjaga hasil alam baik di lautan maupun di daratan. Dalam menjaga hasil laut, kewang memiliki wewenang atau izin ketika ada warga asing yang hendak memancing di lingkungan adatnya. Kewang juga bertugas untuk mengawasi masyarakat dalam mengelola lahan beserta hasil alam terkhususnya buah pala dan buah kelapa yang sangat identik dengan Maluku.
sumber foto : youtube akademisi desa
Uniknya jika waktu panen tiba, masyrakat yang memanen hasil alam entah dilahan pribadi ataupun lahan sewa sekalipun tetap dikenakan sasi atau membayar pajak kepada para kewang. Pembayaran pajak sendiri bukan menggunakan uang melainkan berasal dari hasil panen mereka. Misalnya 10 buah kelapa yang dipanen dikenakan 2 buah kelapa untuk pajak (sasi) kepada kewang dan untuk pala dari 20 buah yang dipanen dikenakan 5 buah pala untuk pajak (sasi). Hasil panen dalam bentukn sasi atau pajak ini kemudian akan dikumpulkan oleh para kewang yang kemudian dijual dan hasilnya akan disumbangkan pada setiap masjid yang ada negeri adatnya. Adapun pajak (sasi) berupa uang sebesar 100rb - 200rb kepada setiap warga asing yang hendak memancing didaerah tersebut.
Kewang dipimpin oleh kepala kewang, hal ini berdasarkan penuturan mantan kepala kewang Usman Tuarita. Beliau juga menjelaskan bahwa, bila tiba waktu panen atau lebih akrab dikenal dengan sebutan "Buka Sasi". Seluruh anggota kewang bersama-sama akan menyampaikan informasi di negeri mereka terkait waktu panen hasil alam di lingkungan adat mereka sendiri. Penyampaian informasi ini dilakukan oleh Marinyo kewang atau salah seorang anggota kewang yang ditunjuk untuk menyamapaikan informasi dengan menggunakan bantuan media seperti Toa dan Tiffa dan juga selalu menggunakan bahasa tanah atau bahasa daerah. Buka Sasi atau waktu panen sendiri terjadi setiap 3-4 bulan sekali. Sementara itu, masa jabatan kewang berlnagsung selama setahun saja, setelah setahun bekerja maka Raja atau Kepala desa akan menunjuk langung seseorang sebagai kepala kewang untuk menggantikan kepala kewang sebelumnya. Dan untuk anggota kewang akan ditunjuk langsung dari kepala kewang itu sendiri.