“ALL EYES ON PAPUA” DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT ADAT
“ALL EYES ON PAPUA” DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT ADAT
“ALL EYES ON PAPUA”
DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT ADAT
Tagar “All Eyes on Papua” beredar luas di media sosial. Gerakan solidaritas ini mendukung upaya suku Awyu menyelamatkan tanah ulayat mereka dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Perjuangan suku Awyu lahir dari keresahan masyarakat adat tentang tanah dan hutan sebagai sumber penghidupan di tengah menjamurnya izin konsesi perkebunan kelapa sawit di wilayah Selatan Indonesia. Hilang dan terampasnya tanah adat, rusaknya ekosistem hutan bukan semata-mata hilangnya sumber pangan dan sumber penghasilan harian, namun juga hilang sistem nilai, wilayah sakral, kearifan bahkan peradaban mereka secara menyeluruh.
Pembangunan Ekonomi Minus Keadilan
Pada masyarakat Indonesia, tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia untuk dipergunakan demi kemakmuran rakyat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah Republik Indonesia-sebagai karuni Tuhan Yang Maha Esa-adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Kewenangan negara untuk menguasai itu ditujukan untuk tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun Das sollen selalu tidak sesuai Das sein. Alih-alih pemerintah melindungi hak atas tanah masyarakat hukum adat, justru pemerintah dengan dalih kesejahteraan rakyat melindungi korporasi yang memarginalkan hak-hak masyarakat hukum adat. Praktik ini dapat dilihat pada substansi produk hukum ambisius pemerintah yakni Undang-Undang Cipta Kerja dan realisasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Fenomena tersebut jika dianalisa berdasarkan teori sibernetika Talcott Parsons maka terlihat jelas bahwa subsistem ekonomi yang didukung oleh subsistem politik dan subsistem hukum memberikan pengaruh langsung pada subsistem budaya dengan mencabut nilai dan identitas budaya sebagai bangsa agraris.
Perjuangan masyarakat hukum adat (suku Amyu) untuk menuntut hak-hak konstitusional melalui jalur hukum pun menemui jalan buntu. Mahkamah Agung menolak kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya. Putusan ini menambah catatan hitam bagi masyarakat adat yang berjuang melawan ancaman perusakan lingkungan.
Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat
Untuk mewujudkan Reforma Agraria yang menjadi semangat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pengesahan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat menjadi sebuah conditio sine qua non. Dengan disahkan RUU Masyarakat Hukum Adat diharapkan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat adat di tengah ekspansi perusahaan perkebunan yang menggerus ruang penghidupan mereka. Tanpa ada perlindungan hukum yang berkeadilan, masyarakat adat akan kehilangan hak-haknya terhadap sumber-sumber penghidupan mereka.