Dampak KDRT terhadap Ketahanan Sosial: Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berdampak besar pada individu, keluarga, dan ketahanan sosial. Selain menciptakan trauma fisik dan psikologis, KDRT merusak struktur keluarga dan kepercayaan terhadap institusi pernikahan. Dengan 12.330 kasus KDRT dilaporkan hingga Januari 2024, KDRT dianggap melanggar HAM karena melanggar hak atas keamanan dan kesehatan. Penanganannya memerlukan kolaborasi pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis, dimulai dari memperkuat keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga berimplikasi besar terhadap ketahanan sosial bangsa. KDRT menciptakan trauma yang merusak struktur dasar masyarakat, yaitu keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pembentukan nilai-nilai moral. Ketika keluarga terguncang oleh kekerasan, solidaritas sosial ikut terancam. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang terluka oleh kekerasan domestik berpotensi mengalami disintegrasi, melemahkan persatuan bangsa. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kekerasan harus dimulai dengan memperkuat ketahanan keluarga, dan mendorong kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan masyarakat adalah kunci untuk mempertahankan ketahanan sosial dan kebangsaan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki dampak yang signifikan terhadap ketahanan sosial, terutama dalam upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari kekerasan. KDRT merusak pondasi keluarga sebagai unit sosial terkecil, mempengaruhi stabilitas psikologis korban dan generasi penerus. Secara lebih luas, KDRT juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pernikahan, yang akhirnya mempengaruhi harmonisasi sosial. Salah satu diantaranya merupakan kejadian yang dialami oleh Afifah Riyad, seorang selebgram dan TikToker, yang viral karena mengalami dugaan KDRT dari suaminya, Derry Fransakti, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini di ruang publik. Dilansir dari SindoNews, Afifah mengalami kekerasan fisik, dengan wajah babak belur yang diungkapkan oleh adiknya di media sosial. Afifah mengungkapkan bahwa suaminya menginjak leher, wajah, dan perutnya. Meskipun Derry juga memberikan tanggapan berbeda dan tuduh Afifah berselingkuh, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya penanganan KDRT dengan serius dan adil. Kasus ini mencerminkan kekerasan dalam rumah tangga yang tidak hanya melukai individu tetapi juga berpotensi merusak struktur sosial lebih luas dengan meningkatkan ketidakpercayaan terhadap keamanan di dalam keluarga.
Korban KDRT sering kali mengalami trauma psikologis yang mendalam, cedera fisik jangka panjang, serta penurunan kesejahteraan mental. Selain itu, mereka juga dapat mengalami isolasi sosial dan rasa tidak berdaya. Dampak ini tidak hanya merugikan korban secara pribadi, tetapi juga mempengaruhi hubungan interpersonal dan stabilitas sosial dalam masyarakat. KDRT dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam rumah tangga, yang pada gilirannya dapat berdampak pada anak-anak dan generasi mendatang.
Bahkan hingga saat ini sudah terdapat 20.088 jumlah kasus di Indonesia per Januari 2024 mengenai kasus kekerasan yang dilansir dari Kemenppa.go.id. Sebanyak 12.330 kasus diantaranya termasuk dalam kekerasan rumah tangga yang memiliki persentase paling tinggi dibandingkan tempat kejadian kekerasan lainnya. Penulis menyadari adanya urgensi dalam membahas topik terkait KDRT tersebut dikarenakan adanya disintegrasi terhadap ketahanan sosial antara warga Indonesia dalam memandang status pernikahan dikarenakan terpaan kasus kekerasan yang dipublikasikan oleh media. Hal ini juga menunjukkan adanya kerendahan komitmen warga Indonesia dalam mematuhi berbagai aturan yang telah ditetapkan oleh HAM.
Dikatakan sebagai pelanggaran HAM karena berbagai bentuk KDRT tidak merefleksikan hak-hak yang dijamin oleh HAM, seperti hak atas kebebasan dari kekerasan, hak atas kebebasan dari penyiksaan, hak atas keamanan, hak atas perlindungan hukum, serta hak atas kesehatan fisik dan mental. Hak-hak ini merupakan bagian dari hak-hak yang dijamin oleh HAM. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (1) dinyatakan: “Setiap individu yang mengalami pelanggaran HAM berhak untuk mengajukan tuntutan hukum dan mendapatkan perlindungan yang setara sesuai dengan martabat kemanusiaannya di hadapan hukum.”
Penanganan dan pencegahan KDRT memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat (Zahra, 2023). Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mendukung korban KDRT, seperti penyediaan tempat perlindungan dan layanan konseling. Organisasi non-pemerintah juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan dan edukasi kepada masyarakat tentang KDRT. Masyarakat di sisi lain, perlu lebih sensitif dan peduli terhadap isu KDRT, serta memberikan dukungan kepada korban. Dengan kerja sama ini, diharapkan kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan dengan menghargai aturan HAM yang berlaku di lingkup kebangsaan. Mari berpartisipasi aktif untuk membangun Indonesia yang lebih harmonis, dimulai dari keluarga yang saling menghormati.
Penulis :
Salma Putri Charissa
(Universitas Negeri Jakarta)
Tasya Margaretha
(Universitas Negeri Jakarta)
Zenia Serafina Yesaya
(Universitas Negeri Jakarta)