Tradisi Tari Caci: Seni Perang yang Memupuk Persatuan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)

Tari Caci merupakan salah satu tradisi budaya yang menjadi simbol identitas masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lebih dari sekadar seni pertunjukan, Tari Caci adalah perwujudan nilai-nilai luhur yang mencerminkan keberanian, solidaritas, dan harmoni sosial. Tradisi ini tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga merupakan warisan budaya Indonesia yang memiliki makna universal.

Tradisi Tari Caci: Seni Perang yang Memupuk Persatuan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)
Bagi Masyarakat Manggarai, Flores, NTT, Tari Caci menjadi ungkapan suka cita sekaligus sebagai salah satu sarana komunikasi manusia kepada pencipta-Nya. (Foto: Flores.co)
Tradisi Tari Caci: Seni Perang yang Memupuk Persatuan di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)

Manggarai sebuah wilayah di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah yang kaya akan warisan budaya. Salah satu tradisi yang paling dikenal oleh dunia adalah Tari Caci, Tari Caci merupakan salah warisan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang menjadi symbol identitas masyarakat setempat. Tari Caci adalah perwujudan nilai-nilai luhur yang mencerminkan keberanian, solidaritas, dan harmoni sosial. Tradisi ini tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga merupakan warisan budaya Indonesia yang memiliki makna universal.

Dilansir dari situs kemdikbud.go.id, Tari Caci adalah tarian yang dimainkan dua orang pria yang bertarung, penyerang menggunakan cambuk (larik) untuk menyerang, sementara lawannya bertahan dengan tameng (nggiling). Tarian ini tidak dimaksudkan untuk menyakiti satu sama lain tetapi sebagai ajang untuk menunjukkan keberanian dan ketangkasan. Lebih banyak luka cambuk di tubuh laki-laki, tandanya semakin terpandang. Masyarakat menganggap laki-laki yang telah mengikuti tarian Caci dilihat lebih dewasa dan dipandang lebih hormat di mata kaum perempuan maupun tetua adat.

Tari Caci bukan hanya soal kekuatan fisik. Tradisi ini memiliki akar filosofis yang mendalam. Cambuk melambangkan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi tantangan hidup, sementara tameng mencerminkan perlindungan, kehati-hatian, dan kemampuan bertahan. Dalam konteks kehidupan sosial, Tari Caci mengajarkan keseimbangan antara keberanian menyerang dan kewaspadaan bertahan—dua aspek yang penting dalam kehidupan manusia.

Cambuk berfungsi sebagai senjata utama untuk menyerang lawan. Biasanya cambuk yang digunakan penari terbuat dari bahan kulit sapi ataupun kerbau yang sudah dikeringkan sebelumnya. Sedangkan bagian pegangannya dibuat dari kulit kerbau, dan ujungnya dipasang kulit kerbau lebih tipis yang telah kering (disebut lempa). Perisai dibuat dari bambu yang berjalin rotan yang berbentuk bundar dengan lapisan kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Laki-laki yang menjadi penangkis lecutan lawan disebut dengan ta’ang.

Pada bagian kepala, penari mengenakan topeng/panggal dengan bentuk menyerupai tanduk kerbau. Topeng ini memang dibuat dari kulit kerbau yang sudah mengeras, kemudian ditambah dengan hiasan kain warna-warni. Bawahan dalam tari caci berupa celana panjang dengan warna putih yang dipadukan songket (kain khas Manggarai). Kemudian alat musik yang dipakai dalam tarian Caci adalah gong, gendang, serta nyanyian lagu dari daerah Manggarai. Musik ini bertempo cukup cepat sehingga dapat disesuaikan dengan jalannya pertarungan.

Tari Caci biasanya ditampilkan dalam acara-acara adat seperti pesta syukuran panen (penti) atau perayaan besar lainnya. Selain sebagai hiburan, tarian ini juga berfungsi sebagai perekat sosial yang mempererat hubungan persaudaraan di antara masyarakat. Setelah duel selesai, kedua penari saling memaafkan, menjadikan Tari Caci tidak hanya sebagai simbol keberanian tetapi juga rekonsiliasi dan harmoni.

Sayangnya, di tengah arus modernisasi, tradisi seperti Tari Caci menghadapi tantangan besar. Generasi muda yang lebih terpapar budaya populer dan teknologi modern cenderung kurang mengenal dan menghargai tradisi leluhur mereka. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk melestarikan Tari Caci. Pendidikan budaya di sekolah, pengadaan festival, dan promosi melalui media digital adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga eksistensi tradisi ini. Dengan melestarikan Caci, kita tidak hanya menjaga tradisi lokal, tetapi juga menanamkan semangat kebangsaan yang mempersatukan.

Selain itu, Tari Caci juga memiliki potensi besar sebagai aset pariwisata budaya. Pertunjukan yang unik dan penuh makna ini dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan promosi yang tepat, Tari Caci tidak hanya berkontribusi pada pelestarian budaya tetapi juga mendukung perekonomian masyarakat Manggarai.

 

Sumber referensi:

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr99XXZtUBn8gEAWx9XNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1733503706/RO=10/RU=https%3a%2f%2fromadecade.org%2ftaricaci%2f/RK=2/RS=nE0RbjcewAOl0dLmmb1N5dhOV24-

 

 

 

 

 





 

 

 

 

 

 





 

 

Berkas